Thursday, April 26, 2012

tugas PIP resume film HOTEL RWANDA dan analisis kasus


TUGAS PIP
 

               














Nurul Samsiyah
3415111363
Pendidikan Biologi Reguler 2011
Universitas Negeri Jakarta
Resume film Hotel Rwanda

Hotel Rwanda bercerita tentang peperangan di Rwanda antara etnis Hutu dan Tutsi di Kigali, Afrika pada tahun 1994. Kisah di pusatkan pada kehidupan Paul Rusesabagina yang seorang Hutu, namun beristri perempuan Tutsi.
Hari itu Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana yang berasal dari suku Hutu menandatangani perjanjian perdamaian di bawah pengawasan United Nations Peace Keeping Operations di Hotel des Milles Colines, tempat Paul bekerja sebagai manajer. Tak ada yang menduga kalau keesokan harinya tersiar kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Presiden mereka dan juga Presiden Burundi yang berasal dari suku Hutu ditembak jatuh, dan kejadian ini menjadi alasan terjadinya Rwandan Genocide atau peperangan di Rwanda antara etnis Hutu dan Tutsi .
Setelah tewasnya kedua Presiden itu, orang orang Tutsi yang tinggal di sekitar rumah Paul langsung bersembunyi di rumah Paul, termasuk di antara mereka adalah istri Paul, Tatiana yang berasal dari suku Tutsi, anak-anak mereka dan keluarga Tatiana.
Pergolakan antara suku Hutu dan Tutsi berlangsung hingga terjadi pembantaian salah satu suku. Suku Hutu memulai kampanye mengerikan tentang genosida, yaitu membantai ratusan ribu minoritas Tutsi. Hotel Mille Collines tempat Paul bekerja sebagai manajer, akhirnya menjadi camp pengungsi suku Tutsi yang hendak dibantai oleh suku Hutu. Paul melakukan berbagai cara untuk menghindari pembantaian. Tindakan penyelamatan ini tidak semata-mata untuk isterinya yang bersuku Tutsi tetapi ia lakukan untuk semua suku Tutsi yang mengungsi di Hotel yang ia kelola. Pasukan PBB pun tidak kuasa menahan tekanan dari para pemberontak apalagi bantuan dari negara lain sama sekali tidak ada. Pasukan luar negeri hanya datang untuk menyelamatkan warga mereka sendiri, namun tidak peduli dengan penduduk setempat.
Paul berhasil menemukan cara untuk menyelamatkan para pengungsi dari pembantaian. Setelah melakukan banyak cara yang akhirnya gagal, ia berhasil mengirim para pengungsi ke luar negeri. Cara ini hampir saja gagal karena telah bocor ke kaum Hutu, namun seorang jenderal dari pasukan Hutu akhirnya membantu hingga para pengungsi selamat. 










Analisis
Film ini menunjukkan Tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua kelompok etnis yang berbeda dalam suatu negara. Diskriminasi dan kecemburuan sosial juga menjadi penyebab terjadinya kesenjangan antara kedua kelompok tersebut yang mengakar hingga saat ini dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada dan kembali muncul ke permukaan. Pergolakan antarsuku ini berlangsung hingga terjadi pembantaian oleh salah satu suku.
Dalam Konvensi Genosida disebutkan, genosida adalah “setiap perbuatan yang ditujukan untuk menghancurkan, baik keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama” (definisi yang sama dipakai juga di dalam Statuta Roma) . Jika merujuk pada Konvensi Genosida itu, maka peristiwa di Rwanda ini memang sudah lebih dari cukup untuk bisa disebut sebagai genosida. Bahkan Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia mengutuk dan menyatakan kekhawatirannya atas pelanggaran berat yang sistematis dan keadaan yang menyebabkan hambatan serius bagi penerapan semua hak asasi manusia secara seutuhnya yang terus berlangsung di berbagai tempat di dunia. Pelanggaran dan hambatan tersebut antara lain penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, eksekusi kilat dan sewenang-wenang, pelenyapan orang-orang, penahanan yang sewenang-wenang, semua bentuk rasisme, diskriminasi rasial dan apartheid, pendudukan oleh bangsa lain dan dominasi asing terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya, tidak adanya toleransi beragama, terorisme, diskriminasi terhadap perempuan, dan juga tidak adanya norma hukum.
Bila kejadian semacam ini terjadi di sebuah Negara, hal ini tentu akan sangat berdampak, terutama dampak negatif bagi sebuah pendidikan. Karena banyak anak-anak yang mengalami trauma mendalam setelah kejadian ini, maka para pengajar di Negara tersebut harus lebih berhati-hati dalam mendidik  anak-anak tersebut.



















Kerusuhan 1998 ( tragedi semanggi )
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhana Kusuma merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R. Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!











Analisis Kasus
Setelah membaca sebuah artikel diatas tentang kerusuhan 1998 yang terjadi di beberapa tempat di daerah Jakarta, maupun diluar daerah Jakarta. Kita dapat menyimpulkan bahwa banyak terjadi pelanggaran HAM, bahkan ada yang termasuk dalam pelanggaran HAM. Salah satu contohnya adalah ketika para mahasiswa dan juga masyarakat luas sedang berunjuk-rasa menentang atau menolak Sidang Istimewa 1998 yang membahas untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan dan juga menentang dwifungsi ABRI.
Ketika itu ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju Gedung MPR/DPR dari segala arah, namun usaha itu tidak berhasil karena penjagaan yang ketat dari personil ABRI. Pada malam hari di hari yang sama terjadi bentrokan yang pertama kali di daerah Slipi. Banyak korban luka-luka dari mahasiswa bahkan satu orang pelajar tewas dalam insiden berdarah tersebut.
Dari salah satu dari sekian banyak pelanggaran HAM dari contoh kasus tersebut kita dapat mengetahui bahwa tindakan ABRI pada saat itu sangat melanggar hak asasi manusia untuk berpendapat. Bukannya para mahasiswa dan masyarkat mengeluarkan aspirasinya justru tindakan arogan dari aparat saat itu. Banyak kejadian yang melanggar HAM bahkan tidak sedikit korban yang berjatuhan baik yang luka-luka ataupun korban jiwa.
Itu menunjukan bahwa pada saat itu hak asasi sebagai manusia tidak berjalan yang menyebabkan banyaknya protes-protes dari kalangan mahasiswa ataupun masyarakat. Meskipun hak asasi manusia (HAM) secara tegas tertera dalam Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 27,29 dan 30), namun paparan pelanggaran HAM di atas membuktikan bahwa HAM di Indonesia masih sangat memprihatinkan.


No comments:

Post a Comment